Hukum Acara Perdata Khusus Peradilan Agama di Indonesia



MAKALAH HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
Hukum Acara Perdata Khusus Peradilan Agama di Indonesia”

Dosen Pengampu:
Aris Bintania, M.Ag


18-11-41-n_r85p_0-LWNmbbgB-hPnZLZNQiMd2ZHttzMl9N44zWF13MdL8buKLWKGQjLqfEjeYyXt6TK-4BdL_Lig7nZ5bFSf-6BZia8jcoP6GoEACOcTBuyFHCSeaI=w383-h384-nc.jpg


Oleh:
Muhammad Ilham
NIM:  17.0845


JURUSAN SYARI’AH DAN EKONOMI BISNIS ISLAM
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SULTAN ABDURRAHMAN KEPULAUAN RIAU
2020


KATA PENGANTAR

Segala puji syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang mencurahkan rahmatnya kepada kita semua. Shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan alam nabi Muhammad SAW. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen dan teman-teman seperjuangan yang telah memberikan banyak masukan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini pada mata kuliah “Hukum Acara Peradilan Agama” guna memenuhi tugas Ujian Akhir Semester Genap yang diberikan.
Dan adapun pemakalah akan menjelaskan tentang “Hukum Acara Perdata Khusus Peradilan Agama di Indonesia”, Dan apabila penulis banyak terdapat kesalahan didalam penulisan makalah ini penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya, karena terbatas nya refrensi dan pemahaman dalam materi, penulis juga mengharapkan kritikan dan masukan yang positife demi perbaikan kedepanya.






Bintan, 14 Mei 2020


Penulis
DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR.......................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................... 1
A.  Latar Belakang............................................................................ 1
B.  Rumusan Masalah...................................................................... 2
C.  Tujuan Penulisan........................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN..................................................................... 3           
A.  Pengertian dan Latar Belakang Sejarah Hukum Acara Perdata Khusus  3
B.  Sumber-Sumber Hukum Acara Perdata Khusus........................ 4
C.  Ruang Lingkup dan Jenis-Jenis Perkara Hukum Acara Perdata Khusus  5
D.  Penerapan Hukum Acara Perdata Khusus Pada Pengadilan Agama.................................................................................................... 8


BAB III PENUTUP........................................................................... 12
A.  Kesimpulan............................................................................... 12
B.  Saran ........................................................................................ 13

DAFTAR PUSTAKA........................................................................ 14



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Peradilan agama telah hadir dalam kehidupan hukum di Indonesia sejak masuknya agama Islam. Guna memenuhi kebutuhan masyarakat Muslim akan penegakan keadilan, pemerintah mewujudkan dan menegaskan kedudukan pengadilan agama sebagai salah satu badan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Dalam Al-Qur'an, Hadis Rasul, dan ijtihad para ahli hukum Islam, terdapat aturan-aturan hukum materiel sebagai pedoman hidup dan aturan dalam hubungan antarmanusia (muammalah) serta hukum formal sebagai pedoman beracara di pengadilan agama.[1]
Peradilan agama sebenarnya sudah ada sejak agama Islam dikenal dan diterima di wilayah Nusantara, satu contoh di Kerajaan Mataram kurang lebih tahun 1610-1645 dikenal peradilan serambi, karena tempat mengadili diadakan diserambi masjid, dan hakim-hakimnya diangkat oleh sultan. Pengakuan berlakunya hukum Islam yang talah ada sejak lama di wilayah Nusantara ini pada masa yang lalu tercermin dalam kegiatan peradilan di beberapa kerajaan/kesultanan.
Setelah Indonesia merdeka dalam UUD 1945 keberadaan Peradilan Agama diakui dan termasuk dalam lingkungan badan kehakiman sebagaimana diatur dalam Pasal 24, namun belum ada undang-undang yang mengatur secara khusus susunan, kekuasaan, dan hukum acara dalam lingkungan peradilan agama. Adapun mengenai hukumnya, hukum materil Islam diakui atar dasar Pasal 29.
Setelah melalui proses yang cukup panjang, kini hukum Islam telah dikenal dan memiliki kekwenangan tersendiri hingga saat ini. Sewasa ini telah dikeluarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang mengatur susunan, kekuasaan, dan hukum acara peradilan agama. Undang-Undang ini kemudian mengalami perubahan pada pasal-pasal tertentu untuk menyesuaikan dengan perkembangan perundang-undangan yang ada maupun dengan kebutuhan dilapangan praktis dengan keluarnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006.
Adapun dalam makalah ini akan dibahas tentang “Hukum Acara Perdata Khusus Peradilan Agama di Indonesia” hal-hal penting berupa gambaran umum, latar belakang, sumber-sumber, ruang lingkup, serta penerapan hukum acara perdata khusus peradilan agama Islam perlu untk dipahami terutama calon sarjana hukum dibidang keluarga. hukum acara Islam yang menjadi pegangan dalam Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia.

B.    Rumusan Masalah
Sesuai dengan tema “Hukum Acara Perdata Khusus Peradilan Agama di Indonesia”, maka penulis merumuskan beberapa permasalahan, yaitu:
1.   Apa dan bagaimana Pengertian dan Latar Belakang Sejarah Hukum Acara Perdata Khusus Peradilan Agama?
2.   Apa Saja Sumber-Sumber Hukum Acara Perdata Khusus Peradilan Agama?
3.   Apa Ruang Lingkup dan Jenis-Jenis Hukum Acara Perdata Peradilan Agama?
4.   Bagaimana Penerapan Hukum Acara Perdata Khusus pada Peradilan Agama Indonesia?

C.    Tujuan Penulisan
Berangkat dari rumusan masalah diatas maka, tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui:
1.   Pengertian dan Latar belakang Sejarah Hukum Acara Perdata Perdata Khusus Peradilan Agama
2.   Sumber-Sumber Hukum Acara Perdata Khusus Peradilan Agama
3.   Ruang Lingkup dan Jenis-Jenis Hukum Acara Perdata Khusus Peradilan Agama
4.   Penerapan Hukum Acara Perdata Khusus Peradilan Agama


BAB II
PEMBAHASAN
  1. Pengertian dan Latar Belakang Sejarah Hukum Acara Perdata Khusus
Meskipun Lembaga Peradilan Agama di Jawa dan Madura telah dibentuk oleh pemerintahan Belanda dengan Stb. 1882 Nomor 152 jo. Stb. 1937 Nomor 116 dan 610, di Kalimantan Selatan dengan Stb. 1937 Nomor 638 dan 639, kemudian setelah kemerdekaan Repulik Indonesia, pemerintah membentuk Pengadilan Agama di luar Jawa, Madura, dan Kalimantan Selatan, dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957, tetapi dalam peraturan tersebut tidak disinggung sama sekali tentang Hukum Acara yang harus dipergunakan oleh Hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang diajukan kepadanya. Oleh karena tidak ada ketentuan resmi tentang Hukum Acara yang berlaku di Pengadilan Agama, maka para Hakim dalam mengadili perkara yang diajukan kepada Pengadilan Agama mengambil inti sari Hukum Acara yang ada dalam kitab-kitab fiqh, yang dalam penerapannya berbeda antara Pengadilan Agama yang satu dengan Pengadilan Agama yang lain.[2]
Ketentuan mengenai Hukum Acara Perdata di Peradilan Agama baru ada sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaannya, ini pun baru sebagian kecil saja yang diatur dalam kedua peraturan ini. Ketentuan tentang Hukum Acara Perdata yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama baru disebutkan secara tegas sejak diterbitkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 ini selain diatur tentang susunan dan kekuasaan Peradilan Agama, juga diatur dalamnya tentang Hukum Acara Perdata yang berlaku dilingkungan Peradilan Agama.
Sebelum membahas Hukum Acara Perdata Khusus maka perlu untuk diketahui bahwa Hukum acara perdata adalah peraturan Hukum yang berfungsi untuk mempertahankan berlakunya Hukum perdata sebagaimana mestinya. Hukum Acara Perdata dirumuskan sebagai peraturan Hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara perdata melalui Pengadilan (hakim), sejak diajukan gugatan sampai dengan pelaksanaan putusan hakim.
Adapun hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum dan hukum acara perdata yang telah diatur secara khusus dalam UU Peradilan Agama (Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989). Adapun hukum acara perdata yang diatur secara khusus dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah tentang Pemeriksaan Sengketa Perkawinan sebagai berikut:
1)   Cerai Talak,
2)   Cerai Gugat, dan
3)   Cerai Dengan Alasan Zina[3]
Dari penjelasan diatas maka, yang dimaksud dengan hukum acara perdata khusus adalah peraturan hukum yang berfungsi untuk mempertahankan berlakunya hukum perdata materil, serta mengatur bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, menerima serta memutuskan dan pelaksanaan daripada putusan mengenai hal pemeriksaan sengketa perkawinan yang diatur dalam UU Peradilan Agama.
Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama seperti yang diketahui bahwa yang melatar belakangi lahirnya UU Peradilan Agama adalah Pelaksanaan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, karena dipandang perlu menetapkan undang-undang yang mengatur susunan, kekuasaan, dan hukum acara pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama yang sempat beragam.[4]

  1. Sumber-Sumber Hukum Acara Perdata Khusus
Berdasarkan ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah sebagaimana yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum, di samping hukum acara khusus yang diatur tersendiri, terutama dalam memeriksa perkara sengketat perkawinan.[5]
Karena Pasal 54 UUPA memberlakukan hukum acara yang berlaku dilingkungan Peradilan Umum, maka sumber peraturan perudang-undangan di antaranya, yaitu:
·       (HIR) untuk Jawa-Madura dan (RBg) untuk luar Jawa-Madura,
·       (BRv) Hukum Acara Raad van Justitie dan Residentie Gerecht untuk golongan Eropa,
·       Burgerlijke Wet Boek (KUHP) Buku IV tentang Pembuktian,
·       Wetboek van Koophandel (WvK) KUHD,
·       Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa-Madura,
·       Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970  tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang diubah dengan Undang-Undang  Nomor 35 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan selanjutnya di ganti lagi dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009,
·       Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan selanjutnya dilakukan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, dan
·       Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, yang keseluruhannya berlaku di Peradilan Umum juga berlaku di lingkungan Peradilan Agama, kecuali hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Peradilan Agama yang meliputi sebagian tata carapemeriksaan sengketa di bidang perkawinan.
Hukum acara khusus mengenai tata cara pemeriksaan sengketa-sengketa perkawinan dapat ditemukan dalam peraturan dan perundang-undangan sebagai berikut.[6]
1.     Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, tentang Peradilan Agama Sebagaimana yang diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Perubahan Ke-II dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009.
2.     Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan.
3.     Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, tentang Aturan Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan.
4.     Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, tentang Kompilasi Hukum Islam.
5.     Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987, tentang Wali Hakim.
6.     Dan aturan lain berkenaan dengan sengketa perkawinan, kitab fiqh Islam sebagai sumber penemuan hukum.

  1. Ruang Lingkup dan Jenis-Jenis Perkara Hukum Acara Perdata Khusus
Dalam Pasal 49  Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama ditentukan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara-perkara tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang Perkawinan, Kewarisan, Wasiat, dan Hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, serta Wakaf dan Sedekah. Sedangkan Pengadilan Tinggi Agama berwenang dan bertugas mengadili perkara-perkara yang menjadi wewenang dan tugas Pengadilan Agama dalam tingkat banding, juga menyelesaikan sengketa yurisdiksi antara Pengadilan Agama.[7]
Perkara yang diperiksa Pengadilan di lingkungan Peradilan Agama ada dua macam, yaitu permohonan (voluntaire) dan gugatan (contentius). Permohonan adalah mengenai suatu perkara yang tidak ada pihak-pihak lain yang saling bersengketa. Gugatan adalah suatu perkara yang terdapat sengketa antara dua belah pihak.[8]
Bidang Perkawinan yang menjadi kewenangan dan kekuasaan Pengadilan Agama adalah hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu:[9]
1.     Izin beristri lebih dari seorang (Pasal 3 ayat 2),
2.     Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun, dalam hal orang tua atau wali keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat (Pasal 6 ayat 5), saat ini batas usia nikah telah diganti menjadi 19 tahun bagi kedua pasangan calon pengantin di atur dalam UU No. 16 Tahun 2019,
3.     Dispensasi perkawinan (Pasal 7 ayat  2),
4.     Pencegahan perkawinan (Pasal 17 ayat 1),
5.     Penolakan perkawinan oleh PPN (Pasal 21 ayat 30)
6.     Pembatalan perkawinan (Pasal 22)
7.     Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri (Pasal 34 ayat 3),
8.     Perceraian karena talak (Pasal 39),
9.     Gugatan perceraian (Pasal 40 ayat 1),
10.  Penyelesaian harta bersama (Pasal 37),
11.  Mengenai penguasaan anak-anak (Pasal 47),
12.  Ibu dapat memikul biaya penghidupan anak apabila bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya (Pasal 41 sub b)
13.  Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri (Pasal 41 sub c),
14.  Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak (Pasal 44 ayat 2),
15.  Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua (Pasal 49 ayat 1).
16.  Dan seterusnya.
Bidang kewarisan yang menjadi tugas dan wewenang Pengadilan Agama disebutkan dalam Pasal  49 ayat 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagai berikut:[10]
1.     Penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris,
2.     Penentuan mengenai harta peninggalan,
3.     Penentuan bagian masing-masing ahli waris,
4.     Melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.
Kewenangan Peradilan Agama dalam bidang Ekonomi Syari’ah meliputi sebagaimana tersebut dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama sebagai berikut:[11]
1.     Bank syari’ah,
2.     Lembaga keuangan mikro syari’ah,
3.     Asuransi syari’ah,
4.     Reasuransi syarai’ah,
5.     Raksa dana syari’ah,
6.     Obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah,
7.     Sekuritas syari’ah,
8.     Pembiayaan syari’ah,
9.     Pegadaian syari’ah,
10.  Dana pensiun lembaga keuangan  syarai’ah,dan
11.  Bisnis syari’ah.
Hukum acara khusus meliputi pengaturan tentang bentuk dan proses perkara, kewenangan relatif pengadilan, pemanggilan, pemeriksaan, pembuktian, upaya damai, biaya perkara, putusan hakim dan upaya hukum serta penerbitan Akta Cerai.[12]
Di antara perkara-perkara yang diatur dengan acara khusus dalam sengketa perkawinan adalah:
1.     Perkara Cerai Talak,
2.     Cerai Gugat,
3.     Li’an,
4.     Khuluk,
5.     Pembatalan Perkawinan,
6.     Izin Poligami,
7.     Penetapan Wali Adhol, dan
8.     Sengketa Harta Bersama dalam Perkawinan.

  1. Penerapan Hukum Acara Perdata Khusus Pada Pengadilan Agama
Dalam penerapan Hukum Acara Perdata Khusus pada Peradilan Agama, seperti perkara, cerai talak, cerai gugat, li’an, khuluk, pembatalan perkawinan, dan lain-lain hampir sama dengan proses beracara di Pengadilan Negeri atau Umum. Yaitu melalui tahap-tahap perkara yang dimulai dari:
1.     Pembukaan Sidang
Pada sidang pertama yang ditetapkan melalui Penetapan Hari Sidang, meskipun para pihak sudah dipanggil ada kemungkinan pihak tidak hadir dalam persidagan, ketidak haridaran pihak menentukan keadaan pemeriksaan yang dilakukan.
a.      Ketidakhadiran Penggugat, Jika penggugat/kuasanya tidak hadir tetapi tergugat hadir, maka gugatan dapat dinyatakan gugur atau sidang ditunda untuk memanggil penggugat sekali lagi dan jika tetap tidak hadir gugatan dinyatakan gugur.
b.     Ketidakhadiran Tergugat, Apabila dalam sidang pertama penggugat hadir, tetapi tergugat/kuasanya tidak hadir maka asalkan sudah dipanggil secara resmi dan patut, gugatan dapat diputus Verstek (putusan di luar hadir tergugat)
2.     Penanyaan Identitas para Pihak
Setelah sidang dinyatakan dibuka, untuk menghindari error in persona (keliru mengenai orang) maka hal pertama yang dilakukan oleh majelis hakim adalah menanyakan identitas pihak-pihak, dimulai dari penggugat dan selanjutnya tergugat meliputi nama, bin/ti, alias/julukan/gelar, umur, agama, pekerjaan, dan tempat tinggal terakhir.
3.     Anjuran Damai
Pada sidang pertama jika kedua belah pihak hadir maka pengadilan berusaha mendamaikan mereka, jika berhasil perkara diakhiri dengan perdamaian yang dituangkan dalam Akta Perdamaian yang kekuatan hukumnya sama dengan putusan, tetapi tidak dapat disbanding atau diajukan lagi.  Akta perdamaian hanya dapat dibuat dalam perkara mengenai sengketa kebendaan saja yang memungkinkan untuk dieksekusi.
4.     Pembacaan Gugatan
Setelah gugatan dibacakan, sebelum tahap jawaban tergugat, pengugat berkesempatan untuk menyatakan sikap sehubungan dengan gugatannya. Ada tiga kemungkinan sikap penggugat:
a.      Mencabut gugatan,
b.     Mengubah gugatan,
c.      Tetap mempertahankan gugatan.
5.     Jawaban Tergugat
Jawaban tergugat dapat diberikan secara tertulis atau lisan yang harus dihindari oleh tergugat atau kuasa hukumnya meskipun ada mengirimkan surat jawaban tertulis, maka jawaban itu tidak akan diperhatikan dan dianggap tidak pernah ada, kecuali jika jawaban itu berisi eksepsi bahwa pengadilan tersebut tidak berwenang mengadili.
6.     Replik Penggugat
Setelah tergugat memberikan jawabannya, selanjutnya kesempatan beralih kepada penggugat untuk memberikan replik yang menanggapi jawaban tergugat sesuai dengan pendapatnya. Penggugat mungkin mempertahankan gugatan dan menambahkan keterangan untuk memperjelaskan dalil-dalilnya atau malah mengubah sikap dengan membenarkan jawaban/bantahan tergugat
7.     Duplik Tergugat
Setelah replik penggugat maka bagi tergugat dapat membalasnya degan mengajukan duplik yang  kemungkinan sikapnya sama seperti replik penggugat. Replik dan duplik (jawab-menjawab) dapat terus diulangi sampai titik temu atau dianggap cukup oleh hakim.
8.     Pembukian
Pada dasarnya setelah acara replik dan duplik berakhir, Majelis Hakim sudah dapat mempertimbangkan apakah gugatan dapat diterima untuk diberi putusan akhir, yaitu ketika seluruh dalil-dalil gugatan sudah jelas, diakui atau tidak disangka lawan. Tetapi, jika dalil-dalil gugat masih belum jelas maka diperlukan pembuktian, Ketua Majelis akan menentukan pihak yang harus menghadirkan bukti melalui putusan sela.
9.     Kesimpulan para Pihak (Konklusi)
Setelah tahap pembuktian berakhir sebelum dibacakan keputusan, para pihak diberikan kesempatan untuk memberikan pendapat akhir yang merupakan kesimpulan mereka terhadap hasil pemeriksaan selama persidangan.
10.  Musyawarah Majelis Hakim
Terhadap hasil pemeriksaan yang sudah dilakukan selanjutnya majelis hakim akan melakukan sidang tertutup untuk melakukan perundingan dalammerumuskan putusan melalui musyawarah majelis hakim. Musyawarah Majelis Hakim dilaksanakan secara rahasia dan tertutup untuk umum.

11.  Pembacaan Putusan Hakim
Terhadap hasil pemeriksaan yang sudah dilakukan selanjutnya majelis hakim akan melakukan sidang tertutup untuk melakukan perundingan dalammerumuskan putusan melalui musyawarah majelis hakim. Musyawarah Majelis Hakim dilaksanakan secara rahasia dan tertutup untuk umum.
Mengenai prosedur dan tata cara beracara di Pengadilan Agama sendiri hampir  sama  setiap jenis perkaranya, aturan dan ketentuan pembuktian dengan saksi si Pengadilan Agama secara umum dan sebagian besarnya mengikuti aturan dan ketentuan yang berlaku mengenai syarat dan pembuktian dengan saksi dilingkungan Peradilan Umum, sebagaimana yang disebutkan di dalam Undang-Undang Peradilan Agama Pasal 54.[13]
Hal yang membedakannya adalah ada sebagian aturan Hukum Acara Perdata Khusus mengenai pembuktian dengan saksi, antara lain dalam sengketa perceraian. Bahwa untuk mendapatkan putusan perceraian dengan alasan antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan untuk hidup bersama lagi. Harus ada cukup alasan mengenai sebab-sebabnya, untuk itu harus didengarkan keterangan saksi-saksi dari keluarga atau orang-orang yang dekat denga suami istri[14], hal ini betolak belakang dengan alat bukti saksi dalam pembuktian hukum acara positif, hal inilah yang dimaksud dengan acara khusus salah satunya yang ada di lingkunga Peradilan Agama.
Dalam pemeriksaan perkara perceraian atas alasan Syiqaq, ketentuan menyatakan orang yang memiliki hubungan darah dan hubungan semenda tidak boleh didengar sebagai saksi.
Permohonan cerai Li’an harus dibuktikan dengan empat orang saksi, apabila pemohon tidak dapat membawa empat orang saksi dan pihak istri menyangkal tuduhan tersebut, sementara hakim berpendapat permohonan itu bukan tiada pembuktian sama sekali tetapi peneguhan alat bukti tidak lagi diperoleh baik dari pihak suami atau istri, maka hakim dapat menyuruh pemohon untuk bersumpah dan pihak istri juga berkesempatan bersumpah untuk menyanggah.
Pemeriksaan saksi-saksi dalam perkara perceraian dilakukan dalam sidang tertup untuk umum sebagaimana berlaku dalam pemeriksaan sengketa perceraian.
Dalam sengketa wakaf, Pengadilan Agama yang mewilayahi tanah wakaf berkewajiban menerima dan menyelesaikan perkara tentang perwakafan tanah menurut syari’at Islam yang antara lain mengenai saksi dan bayyinah (alat bukti administrasi tanah wakaf).
Biaya-biaya yang diperlukan untuk mengadirkan dan memeriksa saksi-saksi dan saksi ahli turut langsung diperhitungkan dalam biaya perkara yang ditetapkan oleh Pengadilan.
Persoalan pembuktian dengan saksi di Pengadilan harus membedakan antara saksi sebagai syarat hukum dengan saksi sebagai alat pembuktian, karena fungsi keduanya sangat jauh berbeda.[15]




BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Hukum acara perdata adalah peraturan Hukum yang berfungsi untuk mempertahankan berlakunya Hukum perdata sebagaimana mestinya. Hukum Acara Perdata dirumuskan sebagai peraturan Hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara perdata melalui Pengadilan (hakim), sejak diajukan gugatan sampai dengan pelaksanaan putusan hakim.
Adapun hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum dan hukum acara perdata yang telah diatur secara khusus dalam UU Peradilan Agama (Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989).
Jadi Hukum Acara Perdata Khusus  di Peradilan Agama adalah peraturan Hukum yang berfungsi untuk mempertahankan berlakunya Hukum Perdata di lingkungan Peradilan Agama, yang dimaksud dengan khusus tersebut adalah kekhususan yang dimilki Peradilan Agama itu sendiri, artinya perkara khusus tersebut tidak berlaku dan tidak ada dilingungan Peradilan Umum.
Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama seperti yang diketahui bahwa yang melatar belakangi lahirnya UU Peradilan Agama adalah Pelaksanaan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, karena dipandang perlu menetapkan undang-undang yang mengatur susunan, kekuasaan, dan hukum acara pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama yang sempat beragam
Sumber-Sumber Hukum Acara Khusus mengenai tata cara pemeriksaan sengketa-sengketa perkawinan dapat ditemukan dalam peraturan dan perundang-undangan sebagai berikut.
1.     Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, tentang Peradilan Agama Sebagaimana yang diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Perubahan Ke-II dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009.
2.     Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan.
3.     Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, tentang Aturan Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan.
4.     Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, tentang Kompilasi Hukum Islam.
5.     Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987, tentang Wali Hakim.
6.     Dan aturan lain berkenaan dengan sengketa perkawinan, kitab fiqh Islam sebagai sumber penemuan hukum.
Adapun ruang lingku Hukum Acara Khusus meliputi pengaturan tentang bentuk dan proses perkara, kewenangan relatif pengadilan, pemanggilan, pemeriksaan, pembuktian, upaya damai, biaya perkara, putusan hakim dan upaya hukum serta penerbitan Akta Cerai.
Di antara jenis-jenis perkara yang diatur dengan acara khusus dalam sengketa perkawinan adalah:
1.     Perkara Cerai Talak,
2.     Cerai Gugat,
3.     Li’an,
4.     Khuluk,
5.     Pembatalan Perkawinan,
6.     Izin Poligami,
7.     Penetapan Wali Adhol, dan
8.     Sengketa Harta Bersama dalam Perkawinan.

Dalam penerapan Hukum Acara Perdata Khusus  pada Pengadilan Agama ada beberapa perbedaan dengan Hukum Acara Perdata, yaitu terletak di tahapan pemeriksaan perkara dibidang (pembuktian) yaitu mengenai pembuktian dengan saksi.

  1. Saran
Penulis  menyadari bahwa manusia adalah mahluk yang tidak pernah luput dari kesalahan, sehingga secara pribadi penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini agar nantinya dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca khususnya bagi penulis sendiri.



DAFTAR PUSTAKA

Bintania Aris, HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, 2013, Jakarta: Rajawali Pers

Lubis Sulaikin, HUKUM ACARA PERDATA PERADILAN AGAMA DI INDONESIA Edisi Pertama, 2005, Jakarta: Kencana

Manan Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama Edisi Kedua, 2005, Jakarta: Kencana

Manan Abdul, Aneka MasalahHukumPerdata, 2006, Jakarta: Prenada Media Group

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA





[1] Sulaikin Lubis, HUKUM ACARA PERDATA PERADILAN AGAMA DI INDONESIA Edisi Pertama, (Jakarta: Kencana), 2005, hal. 1
[2] Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama Edisi Kedua, (Jakarta: Kecana, 2005), hal.7
[3] UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA
[4] Ibid
[5] Aris Bintania, HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hal. 1
[6] Ibid, hal. 2-3
[7] Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama Edisi Kedua, (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 13
[8]Abdul Manan, Aneka MasalahHukumPerdata, (Jakarta: Prenada Media Group , 2006), hal. 17
[9] Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama Edisi Kedua, (Jakarta: KENCANA, 2005), hal. 13-14
[10] Ibid, hal. 14-15
[11] Ibid, hal 15-16
[12] Aris Bintania, HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, (Jakarta: Rajawali Pres, 2013), hal. 3
[13]Ibid, hal. 63
[14] Ibid, hal. 63
[15] Ibid, hal. 63-66

Share:

Label

Recent Posts